MEMAKNAI MINGGU AKHIR TAHUN GEREJAWI
Oleh: Pdt Banner Siburian
Terpujilah Tuhan. Hari ini, Minggu 23 November 2025, kita tiba pada minggu kalender gereja, yakni Minggu Akhir Tahun Gerejawi. Dalam kalender gereja, minggu ini juga sering disebut dan dimaknai sebagai minggu peringatan akan orang yang meninggal. Minggu akhir tahun gerejawi ada di antara Minggu ke-22 setelah Trinitatis dan Minggu Advent serta persiapan memasuki hari raya Natal.
Minggu akhir tahun gerejawi menyerukan kita bahwa segala sesuatu akan berakhir, kecuali firman Tuhan dan Allah yang kekal. Di satu sisi, Minggu akhir tahun gerejawi dimaknai guna membingkai sikap hidup produktif orang beriman dalam menantikan kedatangan Yesus Kristus keduakalinya. Di sisi lain, Minggu akhir tahun gerejawi sekaligus mengingatkan agar manusia mengingat hari kematiannya, atau tepatnya menyadari bahwa pada gilirannya, manusia pun akan mati dan meninggalkan dunia ini.
Sebelum saat itu tiba, manusia patut memaknai hidup ini sebagai momentum untuk melakukan kebaikan sebagai implementasi nyata imannya di dunia. Sebutan untuk ini kerap disebut ‘MomentoMori’ (MM): “Ingatlah akan hari kematianmu”.
Tentu saja, maksudnya bukan mengasumsikan bahwa manusia telah mengetahui akan waktunya atau harinya dia akan mati, tetapi mengingat bahwa kita suatu saat pasti akan meninggalkan dunia ini. Sebelum saat itu tiba, tentu manusia memiliki banyak kesempatan guna mengisi dan memaknai hidup ini agar lebih bermutu, lebih produktif dan lebih mengasihi. Makna hidup diukur dari ‘konten dan kualifikasi’ hidup sebagai “legacy” yang ditinggalkan untuk dunia ini atau untuk generasi setelah dia.
Itulah “legacy” yang sejatinya ditinggalkan manusia selama dia menompang di bumi yang kita huni ini. Sadar akan waktu yang “terbatas menumpang” di dunia, manusia selalu diingatkan akan akhir kehidupannya bahkan kelak akan meninggal. Konon, itulah dua huruf MM yang terukir dalam kedua telapak tangan manusia. Setiap melihat kedua telapak tangan, kita selalu diingatkan akan terbatasnya kita hidup di dunia ini. Namun meski terbatas, Tuhan memanggil manusia untuk berbuat dan bertindak memaknai hidup dengan mewariskan berbagai “legacy” yang baik untuk sesama manusia, segala makluk bahkan untuk dunia ini beserta segala isinya.
Tentu rentang waktu kematian ada di depan kita; bukan di belakang kita. Itu berarti, kita masih memiliki banyak kesempatan untuk memaknai dan mengisi kehidupan ini sebelum saat itu tiba. Kesalahan masa lalu masih dapat kita perbaiki ke depan. Kegagalan di masa lalu dapat menjadi pembelajaran ke depan. Kesedihan di masa lalu dapat diobati menjadi penghiburan di masa depan. Hidup berdosa di masa lalu dapat dijadikan sebagai cambuk memperbaiki dan memperharui diri di masa depan.
SEGALA SESUATU BERLALU KECUALI FIRMAN ALLAH
Segala sesuatu akan berlalu bagai angin. Menara Nimrod diberitakan runtuh seketika (Kejadian 11). Kerajaan hebat dalam dunia Alkitab tidak ada yang tetap bertahan, apakah itu misalnya kerajaan Mesir, Persia dan Babel. Yesus sendiri menyebutkan bahwa Bait Allah sendiripun akan runtuh, tidak akan didapati dua batu bertindih di sana ((Markus 13; Matius 24). Kerajaan Roma yang adikuasa kala itu juga runtuh. Pada gilirannya kehebatan Prancis hingga Inggeris juga bergeser. Amerika pun mengontrol dunia melalui ekonomi dan politiknya, kini mulai bergeser ke negara yang menguasai teknologi digital seperti Revolusi Industri 4.0.
Bait Allah di Israel yang kembali dibangun Ezra dan Nehemia, konon dibangun selama 46 tahun. Itupun hancur di bawah serangan Nebukadensar dari Babel. Pada zaman berikut disebut, Herodes kembali membangunnya dengan megah berlapis emas. Herodes, konon membangunnya dengan mengerahkan pekerja 10.000 orang, bekerja siang dan malam, dibangun selama kurun waktu 8 tahun. Namun, runtuh juga tahun 70 oleh Jenderal Titus. Bangunan megah yang dianggap sebagai simbol kejayaan dan pertahanan bangsa juga ambruk, tanpa batu bertindih. Segala andalan manusia, benar-benar berlalu. Semuanya akan berakhir.
WAKTU KEDATANGAN YESUS KEDUAKALINYA
Kematian adalah akhir hidup manusia di dunia ini. Gereja menyelenggarakan peringatan akan orang yang telah meninggal dunia, guna menyadarkan iman mereka supaya mengingat akan akhir hidupnya sendiri sekaligus meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus yang telah mengalahkan kematian. Kita percaya dan menyaksikan bahwa Yesus Kristus juga akan datang untuk keduakalinya, meski tidak seorangpun yang dapat mengetahui saat kedatanganNya tersebut.
Karena tidak seorangpun yang tahu akan waktu kedatanganNya kedua kali, maka manusia diserukan untuk tidak menghabiskan waktu menghitung-hitung hari kedatanganNya. Manusia justru diminta untuk fokus kepada pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Manusia diserukan mengisi masa penantian itu dengan berkarya. Bila pemazmur 90 menyebutkan manusia agar gemar menghitung hari, maksud utamanya bukanlah menghitung “numerisasi” tanggal kedatanganNya, tetapi lebih kepada menghitung kualitas hidup yang telah dilakoni dalam keseharian hidupnya.
Dalam sejarah gereja di dunia misalnya dicatat beberapa pelaku estimasi tentang tanggal kedatangan Yesus keduakalinya telah meleset bahkan telah menyesatkan banyak orang. Misalnya Willem Miller menyebutkan bahwa Yesus akan datang keduakalinya tanggal 21 Maret 1843 silam, dan menyebutnya sebagai hari kiamat. Demikian juga dengan estimasi non Alkitabiah yang menyebut kedatangan Yesus keduakali tahun 1914. Atau David Koresy yang menyebutkan “Jesus Come tonight”, tepatnya tanggal 20 November 1992. Bahkan dia menyebut dirinya sendiri sebagai “The Son of Messiah” atau “I am the Lamb of God”.
Pernah juga terjadi dalam sebuah sekte ekstrim di Jepang, yang menyebut kiamat dunia serentak dengan kedatangan Yesus kedua kali disebut terjadi tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 dan tepatnya pukul 9 pagi. Akhirnya karena tidak menjadi kenyataan, banyak pengikut sekte itu yang stress lalu bunuh diri. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Baleendah, Bandung, Mangapin pernah mematok tanggal kedatangan Yesus kedua kali itu pada tanggal 10 Oktober 2003. Banyak warga jemaat yang kacau, kucar-kacir dan merusak tatanan hidup berkeluarga dan bergereja.
MEMAKNAI MINGGU AKHIR TAHUN GEREJAWI
Minggu akhir tahun gerejawi yang sekaligus menjadi minggu peringatan akan orang yang meninggal, hendaknya kita maknai dengan mengisinya menjadi hidup yang lebih bermakna dan bermutu. Hal itu nampak dalam karakter hidup kudus di hadapan Allah yang tercermin lewat perangai yang terpuji serta menunjukkan keteladanan hidup. Jauhilah sikap tercela, yang mendehumanisasi hidup manusia, baik melalui sikap sehari-hari, baik melalui kebijakan pejabat yang mengakibatkan kesengsaraan umat dan rakyat secara umum.
Setiap orang patut memaknai minggu akhir tahun gerejawi untuk lebih waspada akan godaan-godaan dunia dan si iblis, lalu memiliki komitmen yang kuat untuk melawan, mengalahkan serta menghindari hidup dalam dosa. Kita terpanggil untuk senantiasa menjaga diri dari pemahaman dan perlakuan anemi moral, misalnya dengan mempersepsikan dosa sebagai sesuatu hal yang biasa saja, atau menganggapnya sebagai sebuah kesalahan teknis manusiawi. Dosa tetaplah dosa, sebesar atau sekecil apapun itu. Dosa, sekecil apapun itu, tidak boleh dimaknai sebagai sebuah kesalahan biasa, sehingga pada gilirannya lama-lama akan menganggapnya sebagai sebuah kelajiman.
Selain itu, faham-faham yang salah juga harus senantiasa kita kritisi dalam keseharian hidup, karena hal itu tentu pasti akan memengaruhi perilaku dan sikap hidup beriman. Misalnya sebutan atau slogan hidup “Carpe Diem”, yang arti sederhananya yakni “Kecaplah dan Petiklah hari ini”. Dengan paham itu, sadar atau tidak sadar, pasti akan dapat membuat orang melegitimasi perilaku hidup yang amat dekat dengan hedonisme, hidup berfoya-foya atau hidup rakus. Bila penting, matipun misalnya tidak menjadi persoalan, asalkan mati oleh karena makan karena kenyang, ketimbang mati karena lapar (bnd. 1 Korintus 15:32).
Ada juga satu persepsi yang sangat berbahaya yang pernah saya simak dari percakapan saya dengan beberapa orang kerabat di Sumatera. Pernah seseorang berencana hendak membalas dendamnya kepada orang lain. Lalu dia berencana membunuhnya. Saya meresponnya secara spontan, bagaimana nanti urusan kriminal di kepolisian. Lalu dia langsung menjawab secara emosional, bahwa setelah membunuh, lalu dia juga akan ikut bunuh diri. Pikirnya, bahwa dengan bunuh diri setelah membunuh orang lain yang dia benci, maka persoalan akan dan sudah selesai. Dia lupa bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan kelak (1 Petrus 3:15). Yesus Kristus adalah awal dan akhir, Alfa dan Omega.
Seperti kata rasul Paulus, marilah kita tetap bagai tentara yang siap menghadap komandan, atau bagai petinju yang tidak sembarang meninju, atau bagaikan seorang atlit, yang berlari sedemikian rupa dengan disiplin yang kuat, sehingga dia beroleh mahkota kemuliaan (1 Korintus 9:24-26). Tuhan akan datang keduakalinya untuk menghakimi dunia beserta segala isinya. Manusia hendaklah menguduskan Kristus di dalam hatinya dan siap sedia memberi pertanggunganjawab. Tetapi yang terpenting adalah tentang apa yang ditinggalkan manusia waktu dia hidup atau sebelum dia meninggal dalam hidupnya.
Dalam masa-masa penantian itu, kita pun menjadi orang yang bijaksana ber-Tuhan dan hidup dengan sesama bahkan dalam segenap lika-liku kehidupan kita. Seperti kata Agustinus, seorang tokoh gereja, bahwa seandainya Tuhan datang besok, maka dia akan semakin bekerja dengan lebih sungguh-sungguh. Masa penantian itu diisi dan dimaknai dengan hidup bekerja-keras sekaligus menjaga moralnya agar tetap terjaga dengan baik (bnd. Amsal 10:4). Sekiranya Tuhan datang besok, maka dia akan menanam pohon apel. Dalam waktu minimal, orang percaya sejatinya akan bekerja maksimal.
Setiap orang yang mengikuti dan merayakan minggu akhir tahun gerejawi, sejatinya harus menyadari bahwa selain hidupnya akan berakhir di dunia ini, maka pada saat yang sama juga, mereka sedang menantikan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya. Dalam dimensi waktu tersebut, kita menghidupi anugerah Kristus, agar kiranya tidak didapatiNya kita hidup tercemar pada hari Tuhan tersebut. Setiap orang percaya harus menghitung hari-hari kehidupannya sedemikian rupa, hingga mereka beroleh hati yang bijaksana.
Menghitung hari, lebih utama dimaknai dalam bingkai dan muatan refleksi diri menghitung kualitas hidup, baik kualitas hidup beriman secara vertikal maupun kualitas hidup kepada sesama secara horizontal. Misalnya menghitung seberapa banyak kita telah berbuat dosa, seberapa banyak kita berbuat baik. Seberapa banyak kita telah melukai hati sesama, seberapa banyak kita membesarkan hati mereka. Menghitung seberapa banyak kita telah berjanji palsu, berkhianat bahkan menjadi pecundang, dan seberapa banyak janji kita dipenuhi. Menghitung hari, bukan terutama dimaksudkan sekedar menghitung sisa rentang hari-hari kehidupan ke depan, tetapi menghitung hari agar semakin hidup bijaksana. Bijak untuk berbuat baik, bijak bertetangga, bijak bekerja, bijak berjanji, bijak memaknai jabatan, bijak berkeluarga, bijak ber-medsos dan berbagai hidup bijak lainnya.
Tuhanlah juga yang menghibur, menguatkan serta mengokohkan pengharapan kita saat kita mengingat keluarga, sanak saudara, orangtua, kekasih serta saudara-saudara kita yang telah mendahului kita kembali kepada Sang Pencipta. Tuhan dengan tangan yang penuh kasih, kiranya menyeka air mata kita semua. Tuhan berkuasa menggantikan kesedihan kita menjadi kegembiraan. Terlalu lama bersedih, bisa mengakibatkan air mata kita kering, bahkan mengakibatkan mata kita menjadi kabur dan teriritasi, sehingga kita pun menjadi kabur melihat wajah Tuhan sedang menggendong kita (Yohanes 29:15).
Maka daripada bersedih berlama-lama, marilah kita berkarya lebih sungguh. Mari kita geluti pekerjaan kita sehari-hari dengan setia. Mari meningkatkan kinerja kita lebih kualitatif. Penghakiman terakhir akan tiba pada waktunya (Why 20:11-15). Saat itu, takhta putih besar akan tiba. Saat itu juga bumi dan langit akan lenyap. Saat itu Kitab Kehidupan akan dibuka. Orang-orang mati, besar dan kecil, akan berdiri di hadapan takhta itu dan dihakimi menurut perbuatan mereka berdasarkan Kitab Suci. Nama saya, saudara dan kita semua, kiranya tertulils dalam Kitab Kehidupan itu (KJ. 278). Amin !


