ISU-ISU TEOLOGIS KE RAPAT PENDETA HATOPAN HKBP
(Disampaikan pada Rapat Pendeta Hatopan HKBP, 27-30 Oktober 2025)
Salam sejahtera bagi kita semua para pendeta HKBP. Selamat mengikuti Rapat Pendeta Hatopan HKBP. Semoga kita semua sehat diberkati Tuhan, dikuatkan dalam setiap pelayanan yang kita emban. Terutama kita semua diberkati dalam semangat persaudaraan, untuk mengisi Rapat Pendeta ini dalam bingkai Ciptaan Baru, sehingga kita tetap dikuatkan dalam menguarakan suara profetik kita.
Di bawah ini, Komisi Teologi HKBP mengajukan beberapa topik pembahasan Isu teologis untuk didiskusikan dan didalami sebelumnya di dalam Rapat Pendeta Distrik di HKBP, untuk kurun waktu antara bulan Juli-September 2025. Dan bila mana ada topik lain sesuai konteks dan kebutuhan Distrik kiranya dapat ditambahkan, sekaligus kita terima dan bahas dalam Rapat Pendeta ini.
- Hukuman Mati -Death Sentences-Death Penalty
Pengantar
Hukuman mati secara historis telah ada sejak zaman kuno. Vonnis dijatuhkan dalam kasus pembunuhan, terorisme atau perdagangan Narkoba. Bentuknya seperti hukuman gantung, regu tembak, suntik mati. Pro kontra selalu ada. Bagi yang pro, hukuman itu dianggap efektif mencegah kejahatan sekaligus memberi rasa keadilan bagi korban kejahatan. Bagi yang kontra, hukuman itu dianggap tidak membuat jera, tidak efektif mencegah apalagi mengurangi kejahatan dan terutama bertentangan dengan kehendak Tuhan. HKBP perlu mempertegas pemahaman dan penghayatan imannya, khususnya akan titah ke-VI, maupun dengan perdebatan etis dan moral, nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi manusia.
Realitas Vonnis Hukuman Mati di Indonesia
Vonnis hukuman mati di Indonesia cukup signifikan. Amnesty International Indonesia mencatat: tahun 2024 pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada 85 pelaku pidana (mayoritas narkotika 57 Kasus, 18 pembunuhan, terorisme). Dari Januari-Maret 2025, hukuman mati jatuh pada 21 terdakwa dari 21 kasus.
Dalam banyak kasus, hukuman mati bagi pelanggaran narkotika ditengarai berdampak tidak proporsional pada individu dari latar belakang ekonomi kurang mampu. Amnesty International Indonesia melihat bahwa belum ada bukti hukuman ini efektif mengurangi perdagangan narkotika.
Pada 6 Maret lalu, majelis hakim di PN Medan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa kasus narkotika. Pada sidang PN Kabanjahe, 17 Maret, JPU menuntut mati tiga orang terdakwa dalam kasus pembunuhan seorang jurnalis dan 3 anggota keluarganya di Karo.
Total orang yang terancam hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Hingga akhir 2024 terdapat 562 orang dalam deret tunggu eksekusi mati, ditambah 53 orang tahun sebelumnya. Meskipun Indonesia tidak melakukan eksekusi mati sejak 2016, namun vonnis hukuman mati baru tetap dijatuhkan setiap tahun.
Dasar Hukum Hukuman Mati di Indonesia
UU Nomor 1/2023 tentang KUHP, yang disahkan akhir tahun 2022 dan akan berlaku pada 2 Januari 2026, masih mencantumkan pidana hukuman mati di Indonesia, walau bukan lagi sebagai pidana pokok sebagaimana tercantum dalam KUHP lama yang masih berlaku.
Eksekusi Hukuman Mati di Indonesia
Tahun 2024 pengadilan Indonesia menjatuhkan hukuman mati sebanyak 85 pelaku pidana. Angka ini membuat jumlah orang yang sedang menanti hukuman mati di dunia menjadi 28.085 hingga akhir tahun 2024.
Pengadilan-pengadilan di Indonesia masih menjatuhkan hukuman mati walau lama tidak ada eksekusi (terakhir Juli 2016). Sebuah perlakuan dan komitmen ganda. Saat negara lain meninggalkannya, Indonesia masih belum berubah.
Pada waktu lalu, pemerintah memulangkan ke negaranya dua terpidana mati: Mary Jane Veloso (Filipina) dan Serge Atlaoui (Prancis). Pemerintah di satu sisi tidak melakukan eksekusi, di sisi lain pengadilan tetap ikut trend global menjatuhkan hukuman mati. Pemulangan terpidana mati asing ke negaranya adalah keputusan parsial, tidak mencerminkan perubahan sikap Indonesia atas hukuman mati.
Kontroversi Eksekusi Hukuman Mati di Dunia
Eksekusi mati di dunia di tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sejak 2015. Indonesia, meski tidak melakukan eksekusi, Indonesia tetap menjadi negara penyumbang vonis mati baru yang signifikan, bahkan saat negara tetangga Malaysia sedang melakukan komutasi hukuman mati.
Laporan Amnesty International 2024, eksekusi mati tercatat sejumlah 1.518, dan 1.153 tahun 2023 dan 1.634 di tahun 2015. Sebanyak 15 negara mengeksekusi mati tahun 2024, didominasi negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Jumlah tersebut bisa saja lebih besar karena Tiongkok diduga menjadi negara eksekutor terbanyak di dunia, tetapi data itu diklasifikasikan sebagai rahasia negara.
Setidaknya ada delapan negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang melaksanakan eksekusi, yaitu Mesir, Iran, Irak, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Sementara Asia – Pasifik, lima negara melaksanakan eksekusi mati, yaitu Afghanistan, Tiongkok, Korea Utara, Singapura, dan Vietnam.
Eksekusi mati tetap kontroversial. Alasan pro adalah hukuman itu dapat mengurangi kejahatan dan memberi keadilan. Alasan kontra: hukuman mati tidak efektif mengurangi kejahatan, melanggar HAM, dapat menyebabkan kesalahan hukuman. Negara yang kontra dan menghapus vonnis mati: Australia, Kanada, Austria, Belgia (sejak 1863), Yunani (sejak 1972), Jerman, Italia, Spanyol, Denmark, Finlandia, Kolombia, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Swedia, Swiss.
Keadilan dan Abolisi Hukuman Mati
Hukuman mati amat sangat keji. Hukuman mati tidak membawa keadilan, tetapi menciptakan lebih banyak korban. Hukuman sangat kejam dan tidak manusiawi, adalah bentuk perendahan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi dengan memilih abolisi hukuman mati. Kita sejatinya turut memengaruhi kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati. Malaysia telah melakukan komutasi guna mengubah pidana mati atas lebih 1000 vonnis mati sebelumnya. Tahun 2024, Zimbabwe mengesahkan UU penghapusan hukuman mati. Dan lebih 2/3 negara anggota PBB mendukung resolusi ke-10 tentang moratorium hukuman mati.
Per 2024, jumlah WNI terancam hukuman mati di luar negeri 157 orang, sebagian besar di Malaysia 147 orang. Dengan menghapus hukuman mati di dalam negeri, Indonesia akan lebih mudah membebaskan WNI kita dari hukuman mati.
Hukuman Mati jadi Senjata Penguasa
Sepanjang tahun 2024, Amnesty menyaksikan para pemimpin memanfaatkan hukuman mati sebagai dalih untuk meningkatkan keamanan publik sekaligus menanamkan ketakutan di masyarakat. Beberapa negara di Timur Tengah, hukuman mati digunakan untuk membungkam para pembela HAM, pembangkang, pengunjuk rasa, lawan politik serta kelompok etnis minoritas.
Donald Trump misalnya, acap menyerukan hukuman mati sebagai alat untuk melindungi masyarakat dari “pemerkosa, pembunuh, dan monster kejam.” Amnesty memaknai pernyataan dehumanisasi seperti ini sebagai promosi narasi palsu bahwa hukuman mati memiliki efek mencegah kejahatan.
Perspektif Teologis PL akan Hukuman Mati
Pandangan Alkitab tentang hukuman mati dapat menjadi kompleks karena menyentuh simpul-simpul teologi sistematik, hermeneutika dan teologi moral publik. Pertanyaan teologis mendasar adalah: Apakah eksekusi nyawa oleh otoritas manusia sudah selaras dengan kehendak Allah ?
Alkitab PL memiliki perspektif yang tidak sederhana terkait dengan hukuman mati. misalnya hukuman mati pada kasus pembunuhan (Kel 21:12; Bil 35:16-21), penculikan (Kel 21:16), hubungan seks dengan binatang (Kel 22:19), Zinah (Im 20:10, 13), menghujat Tuhan (Im 24:16), menjadi nabi palsu (Ul 13:5).
Hukuman Mati dalam Konteks Teonomis[1] PL ada dalam bingkai teokrasi, di mana Allah bertindak sebagai “Raja” transenden yang menetapkan hukum-hukum yang mengikat aspek religius, sosial, dan legal. Hukuman mati bukan sekadar tindakan penegakan hukum, tetapi manifestasi pengudusan komunitas (qahal) yang dipanggil untuk hidup kudus (lih. Im. 20:7–8).
Prinsip lex talionis[2] dalam Keluaran 21:23–25, Imamat 24:19–21, dan Ulangan 19:21 bukanlah ekspresi primitif dari pembalasan, melainkan upaya hukum yang teratur dan terukur (kodifikasi) untuk menegakkan keadilan dan mencegah kekerasan, balas dendam tanpa hukum dan perang antar-keluarga atau suku.
Dalam kasus Daud (2 Sam 12) misalnya, kita menemukan ketegangan antara normativitas hukum dan eksepsi profetik. Secara yuridis Daud layak dihukum mati, namun Allah menunjukkan kemurahan dan pengampunan. Paradigma hukum tidak absolut. Allah tetap berdaulat dalam menjatuhkan atau menangguhkan hukuman.
Perspektif Teologis PB akan Hukuman Mati
PB menyuguhkan paradigma etis Kristologis. Yesus tidak membatalkan hukum, melainkan menggenapinya (Mat. 5:17), yang berarti memberi interpretasi eskatologis terhadap hukum moral. Dalam Matius 5:38–48, Yesus menanggalkan prinsip lex talionis dan menggantinya dengan etika kasih yang radikal, sebuah transformasi hermeneutis dari balas dendam menjadi relasi saling mengampuni.
PB memandang hukuman mati tidak lagi prioritas. Yang terutama adalah kasih, keadilan dan anugerah pengampunan Tuhan. Perempuan yang tertangkap basah berzinah menjadi locus classicus[3] bergeser menjadi belas kasih redemptif (Yoh 8:8-11). Yesus tidak mengabaikan dosa, tetapi membuka jalan pertobatan. Allah adalah standar tertinggi dengan otoritas Ilahi memberi perintah untuk tidak membunuh (Titah VI). Manusia tidak boleh bertindak melebihiNya. Hanya yang tanpa dosalah yang layak menjadi eksekutor.
Roma 13 sering ditafsirkan sebagai dukungan kekuasaan atas pedang negara. Namun, kuasa itu hanya sah sejauh ia menjadi pelayan Allah untuk kebaikan umum (ayat 4). Kekuasaan negara bersifat delegatif dan bersyarat, bukan absolut. Teologi Paulus menyiratkan kontrol etis terhadap penggunaan pedang oleh negara.
Kitab Wahyu menampilkan penghakiman eskatologis sebagai prerogatif Allah (Why. 20:11–15). Inilah keadilan ilahi yang eskatologis. Di sini, hukuman mati tidak lagi bersifat yudisial manusiawi, melainkan eskatologis-teologis. Keadilan ilahi menempatkan segala hukuman pada otoritas transenden Allah. Keadilan dan kebenaran adalah dasar (tumpuan) takhta Allah (Mzm 89:14). Dalam Kristus, ketegangan antara dikaiosynē (keadilan) dan eleos (belas kasih) tidak dikompromikan, melainkan diintegrasikan dalam salib (Rm. 3:25–26).
Gereja tidak lagi menjadikan pembalasan sebagai prinsip utama dalam menegakkan keadilan, melainkan pendekatan yang menyembuhkan, mengampuni, dan memulihkan hubungan. Gereja terpanggil menghadirkan ruang bagi pertobatan dan rekonsiliasi; bukan untuk memperkuat hukuman yang membinasakan.
Perspektif Etika Kristiani dalam Imago Dei
Kejadian 1:26–27 menegaskan martabat ontologis manusia sebagai imago Dei, makhluk ciptaan yang mencerminkan rupa dan citra Allah Mengambil nyawa, bahkan secara legal, harus tunduk pada pemahaman teologis “sakralitas” hidup. Kehidupan manusia memiliki kualitas sakral yang tidak dapat direduksi menjadi objek destruksi institusional (Karl Barth dan Jürgen Moltmann, hukuman mati adalah pengingkaran terhadap kemungkinan rekonsiliasi dan pemulihan manusia).
Dalam Ulangan 30:15–20, hidup dan mati disajikan sebagai dua alternatif kovenantal. “Memilih kehidupan” menunjukkan secara fundamental bahwa Allah berkehendak agar umat-Nya hidup, bukan mati. Maka, sekalipun PL mencatat adanya hukuman mati, namun kerangka teologisnya bukanlah untuk pembalasan, namun sebagai pedagogi hukum menuju kehidupan yang kudus dan adil.
Teologi salib menegaskan bahwa keadilan Allah diwujudkan bukan dalam penghukuman, tetapi dalam solidaritas ilahi dengan yang bersalah. Hukuman mati bukanlah representasi keadilan ilahi yang menebus. Allah memilih menanggung dosa manusia daripada menjatuhkan hukuman final kepadanya. Dalam salib, kita tidak melihat pembalasan, melainkan pengorbanan, rekonsiliasi serta membuka jalan pemulihan martabat manusia, betapapun bobroknya masa lalu mereka.
Hukuman mati menutup pintu terhadap proses pertobatan dan penyembuhan yang seharusnya menjadi inti keadilan ilahi. Etika restoratif bukan sekadar strategi alternatif, melainkan pengejawantahan kasih Allah yang tak membiarkan satu pun lepas dari kemungkinan ditebus. Dalam perspektif Injil, tidak ada momen yang terlambat bagi anugerah, peluang pertobatan dan kelahiran baru (Luk 23:39-43).
Data empiris menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman mati di banyak negara tidak steril secara moral. Ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan kelas, serta penyimpangan yuridis menunjukkan bahwa sistem pidana modern masih jauh dari prinsip keadilan ilahi. Etika Kristen menolak sistem hukum yang mempertajam penderitaan kaum lemah dan memperkuat dominasi struktural.
Analisa dan Kesimpulan
Hukuman mati di Indonesia terus bertambah setiap tahun dengan mayoritas kasus narkoba, meskipun Indonesia tidak lagi melaksanakan eksekusi mati sejak tahun 2016 lalu. Pengadilan-pengadilan di Indonesia masih menjatuhkan hukuman mati di satu sisi, walau pemerintah tidak melakukan eksekusi di sisi lain. Sebuah cerminan hukum dengan standard dan komitmen ganda di Indonesia.
Kasus tersebut sangat mungkin berkorelasi dengan latarbelakang ekonomi kurang mampu. Negara harus lebih sungguh melayani dan mensejahterakan ekonomi rakyat. Gereja tidak dapat bersikap netral atau menyerah pada stigma sosial ini. Gereja harus menjadi pelayan penyembuh, memfasilitasi rehabilitasi pastoral, gereja sebagai tempat penerimaan, bukan penghakiman. Gereja harus bersuara terhadap jaringan narkoba dan aparat yang bermain di dalamnya.
Hukuman itu tidak efektif mencegah dan mengurangi kejahatan. Indonesia perlu melakukan komutasi dan moratorium hukuman mati. Demikian juga dengan UU Nomor 1/2023 tentang KUHP, yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, perlu dikaji ulang dengan tidak lagi mencantumkan lagi pidana hukuman mati di Indonesia.
Hukuman mati amat sangat keji, kejam, tidak manusiawi dan menciptakan lebih banyak korban, adalah perendahan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Hukuman mati tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk tujuan politik, membungkam pembela HAM, mioritas atau dalih meningkatkan keamanan publik.
Alkitab menentang eksekusi mati oleh otoritas manusia, karena bertentangan dengan kehendak Allah. Hukuman Mati dalam konteks Teonomis PL ada dalam bingkai teokrasi, demi manifestasi pengudusan komunitas (qahal) yang dipanggil untuk hidup kudus. Lex talionis bukanlah ekspresi pembalasan, melainkan upaya hukum untuk menegakkan keadilan, mencegah kekerasan, balas dendam dan perang. Allah-lah yang berdaulat menjatuhkan atau menangguhkan hukuman.
Yesus menanggalkan prinsip lex talionis dan menggantinya dengan etika kasih yang radikal, dari balas dendam menjadi relasi saling mengampuni. Hukuman mati tidak lagi relevan. Penghakiman eskatologis hanyalah prerogatif Allah, wilayah dan otoritas transenden Allah. Gereja terpanggil menghadirkan ruang bagi pertobatan; bukan untuk memperkuat hukuman yang membinasakan.
Manusia adalah imago Dei, memiliki kualitas sakral yang tidak dapat direduksi oleh manusia sebagai objek destruksi institusional. Allah berkehendak agar umat-Nya hidup, bukan mati. Hukum lex tallionis dalam Alkitab, termasuk hukuman mati, bukanlah untuk pembalasan, namun sebagai pedagogi hukum Tuhan untuk melangkah menuju kehidupan.
Hukuman mati bukanlah representasi keadilan ilahi yang menebus, betapapun bobroknya masa lalu hidup manusia. Dalam perspektif Injil, tidak ada momen yang terlambat bagi anugerah, peluang pertobatan dan kelahiran baru (Luk 23:39-43). Gereja (dan kita pendeta) terpanggil menyuarakan bahwa hukuman mati sangat jauh dari prinsip keadilan ilahi, bertentangan dengan kehendak Allah sehingga harus dikomutasi dan dihapuskan.
- Artificial Inteligence (AI)
Artificial Intelligence (AI) ini adalah kecerdasan buatan lewat tekonologi yang dapat melakukan tugas-tugas yang dilakukan oleh manusia. Kecerdasan buatan ini berpotensi untuk meningkatkan efisiensi, akurasi bahkan produktifitas dalam berbagai bidang aspek kehidupan, termasuk dalam mengidentifikasi wajah manusia serta analisis data yang akurat. Kita menerima dan mengakui bahwa teknologi adalah berkat di satu sisi, namun di sisi lain dia bisa memiiki dampak negatif bila tidak dipergunakan dengan baik dan benar.
Kecerdasan buatan juga bisa menimbulkan pertanyaan etis akan privasi atau kepribadian manusia. Apakah produk Arificial Intelligence misalnya dapat kita terima saat pelayanan Perjamuan Kudus, seperti robot dalam hal membagikan roti dan anggur maupun misalnya dalam pelayanan baptisan ? Apakah makna dan dasar teologis Sakramen tetap dengan mempertahankan partisipasi aktif dari individu pelayan di dalam jemaat maupun dalam komunitas lainnya ? Apakah pelayan Sakramen dapat menggantikan peran manusia sebagai tubuh Kristus saat membagi roti dan anggur ? Apakah AI dapat menggantikan pengalaman spiritual pelayan yang melayani dalam terang iman, doa dan penghayatan akan Alkitab atau firman Tuhan ?
Komisi Teologi berpendapat bahwa Artificial Inteligence ini tidak dapat menggantikan peran manusia yang diurapi dan diutus Tuhan sebagai mitra yang hidup untuk melaksanakan kedua sakramen dalam gereja HKBP, baik Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus maupun dalam pemberitaan firman Tuhan dalam setiap ibadah dalam iturgi gereja HKBP.
Dalam statement of faith HKBP 2023, HKBP memandang bahwa teknologi adalah sebuah keniscayaan dan anugerah Alah kepada manusia guna meningkatkan persekutuan antar manusia dan dengan Alah (Kel. 35: 30-31; 1 Kor. 13: 1; 14: 1-12; Kol. 4: 6, Konfessi 1996 pasal 5 tentang Kebudayaan dan Lingkungan Hidup). Gereja mendukung teknologi yang berpihak pada kehidupan dan menolak kemajuan teknologi yang diciptakan untuk memproduksi dan memfasilitasi segala bentuk dosa dan kejahatan. Sebab itu, teknologi harus dipisahkan menurut manfaat dan moralitasnya serta mendahulukan etika.
Kecerdasan artifisial kita gunakan untuk menolong manusia memuliakan Alah (Kel. 36: 1) dan mengasihi sesama (Mat. 22: 37-40), dengan prinsip berguna dan membangun (1 Kor. 10: 23-24, 31), dan selalu menempatkan manusia sebagai mitra kerja Alah (Kej. 1: 26-27; 1 Kor. 12; Gal. 3: 28). HKBP melihat revolusi industri keempat sebagai tantangan yang bisa digunakan agar menjadi berkat bagi yang lain (Kej. 12: 3; Mzm. 133: 1; Mrk. 7: 24-30; Luk. 10: 25-37; Yoh. 4: 4-26; Im. 19: 18; Mat. 22: 37-40; 1 Yoh. 4: 20-21). Melalui Firman, Alah mengkomunikasikan kehidupan ke seluruh dunia (Yoh. 1: 1) dalam bingkai keadilan, kebenaran dan hidup.
Kemajuan teknologi memberi tantangan kepada makna persekutuan melalui pertemuan virtual atau komunitas virtual. HKBP menyikapinya dengan berhati-hati sambil tetap menjaga nilai-nilai yang menjadi inti ajaran Kristus melalui gereja, sehingga tidak tenggelam dalam pesan dunia maya yang penuh dengan ideologi komersial. Sakramen adalah tanda nyata kasih karunia Alah (Mat. 28:19; Mrk. 16:15-16; Mrk. 14; Luk. 22; 1Kor 11), sehingga pemberian roti dan anggur tidak bisa diganti melalui pelayanan virtual ataupun perjumpaan virtual (Yoh. 1: 14). HKBP menolak paham yang menempatkan manusia sebagai budak atau dianggap lebih rendah dari kecerdasan artifisial serta menolak segala sikap dan tindakan yang memberhalakan dan menyalahgunakan teknologi yang merusak keseimbangan ciptaan Allah (Kej. 2: 15).
- Persembahan
Tuhan adalah sumber dari segala karunia yang melimpah dalam kehidupan kita masing-masing. Kita tidak memiliki apa-apa dari diri kita sendiri. Maka makna persembahan yang sejatinya adalah segenap totalitas hidup kita. Olehnya kita dipanggil untuk mensyukuri kemurahan Allah dengan mempersembahkan segenap hidup kita dan segenap apa yang ada pada kita, sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1-2).
Berkaitan dengan Sentralisasi Keuangan HKBP yang sudah berlangsung kurang lebih dua tahun, kita semua terpanggil untuk terus menerus manggumuli dan menghayati makna persembahan yang sejati itu. Sentralisasi Keuangan HKBP harus senantiasa setia mendasarkan dirinya kepada dasar-dasar teologis Alkitabiah tentang persembahan itu sendiri. Persembahan yang benar selalu merupakan ungkapan syukur atas berkat Tuhan yang kita terima. Pemberian persembahan merupakan respons yang tulus dan ikhlas akan berkat Tuhan yang kita terima. Manusia memberikannya bukan sebagai kewajiban administratif apalagi guna mencari pujian dari orang lain, melainkan untuk memuliakan Tuhan dan menopang missi Kerajaan Allah di dunia ini.
Pada Sinode Godang 2022, kita sudah memutuskan pelaksanaan sentralisasi Keuangan HKBP. Pada Sinode Godang tersebut, sentralisasi keuangan diputuskan dalam bingkai lebih kepada managemen keuangan terutama guna mengatasi kesenjangan parbalanjoon pelayan, khususnya disparitas parbalanjoon antara pelayan di kota dan desa. Pemaknaan teologis alkitabiah tentang sentralisasi keuangan itu, belum sepenuhnya dimaknai sebagai totalitas persembahan kita sebagai pelayan sebagai somata dan latrheia, yang sejatinya didahului dengan keputusan teologis lewat Rapat Pendeta HKBP.
Hal itu perlu kita hayati kembali dalam rapat pendeta ini, bahwa segenap totalitas hidup kita, waktu kita, tenaga kita, kemampuan yang ada pada kita, talenta, bahkan setiap jabatan gerejawi yang kita sandang tanpa kecuali, harus kita pakai secara total sebagai somata dan latreia untuk kita persembahkan kepada Tuhan lewat Sentralisasi Keuangan HKBP. Contoh, setiap pelayan harus lebih bersungguh-sungguh memberi waktunya di tempat pelayanannya, tidak menjadi bebas meninggalkannya, berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kebaktian yang awalnya mungkin sekali satu bulan, ditingkatkan menjadi dua kali satu bulan, bahkan mungkin sekali seminggu. Setiap pemangku jabatan gerejawi di HKBP, tanpa kecuali harus bekerja dan berpartisipasi aktif menopang Sentralisasi Keuangan ini sesuai proporsinya. Ada sinyalemen, bahwa sumber sentraliasi Keuangan hanya berfokus kepada Ressort atau huria. Aras pimpinan di atasnya seolah tidak merasa itu menjadi bagian tanggungjawabnya secara partisipatif. Ini tentu perlu diluruskan dan dikoreksi.
- Ekologi dan Kerusakan Lingkungan
Konfessi HKBP tahun 1996 bab 5 telah menyebut pengakuan iman kita tentang Kebudayaan dan lingkungan hidup. Manusia memiliki tanggungjawab untuk melestarikan semua ciptaan Allah sehingga manusia itu dapat bekerja, sehat dan sejahtera (Mazmur 8:4-10). Kita menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, ataupun setiap usaha yang mencemari air dan udara, juga air limbah yang mengandung racun dari pabrik-pabrik yang dapat merusak air minum dan pernafasan manusia.
Dalam kasus-kasus khusus, adakah kemungkinan kita relevan menghunjuk dan memberikan suara nabiah gereja langsung dengan alamat yang kepadanya suara nabiah disuarakan ? Pergumulan gereja-gereja dan masyarakat secara khusus di Tapanuli Utara misalnya telah menghadapi satu contoh konkrit di sekelilingnya. Konfessi tentu tidak lagi diubah, ataupun ditambah atau dikurangi. “Statement of faith“ yang dilahirkan dari Rapat Pendeta ini sebagai sebuah penghayatan teologis akan pelaku kerusakan lingkungan menjadi sebuah jawaban dan pergumulan teologis sebagai suplemen untuk Konfessi yang sudah ada.
Bumi ciptaan Tuhan adalah satu “oikos“ rumah bersama untuk segenap manusia, makhluk dan ciptaan untuk diusahan dan dipelihara manusia (Kej 2:15). Manusia diberi tugas dan tanggungjawab untuk “avad“ dan “syamar“ sebagai pengabdian (ibadah) untuk mengusahakan dan memelihara bumi. Konteks kuasa (“radah“)yang diberi Tuhan kepada manusia adalah kuasa untuk merawat dan memelihara; bukan ekploitasi (Kej 1:26). Manusia sebagai “adamah“ memiliki hakekat dan asal dari tanah. Manusia tidak mungkin hidup tanpa bumi sepanjang zaman. Bumi ada dalam bingkai “pinjam pakai“ manusia; bukan sebagai hak milik yang menetap (Kej 1:29; Mzm 24:1-2). Maka segala bentuk eksploitasi, kerakusan kegegabahn dan kesekahan manusia adalah bentuk perlawanan dan pemberontakan kepada kehendak Allah (Kej 1:26-31; Ams 30:15-16).
Berakar dari keserakahan manusia terhadap ciptaan yang dinilai “baik“ oleh Allah dengan rekomendasi perlunya pendidikan ekoteologi untuk jemaat. Menolak pengrusakan terhadap lingkungan juga merupakan seruan teologis HKBP lewat RPP-HKBP yang berkaitan dengan titah ke-6, bahwa perbuatan pembunuhan turut mencakup kepada tindakan menyiksa makhluk ciptaan, dengan merusak lingkungan, membakar dan menebangi pohon (Ulangan 20:19-20). Bahkan liturgi HKBP dalam minggu Ekologi mengaturkannya dengan warna hijau sebagai simbil warna kehidupan dan pertumbuhan. Maka manusia dipanggil bukan sebagai penguasa mutlak alam, namun sebagai pengelola yang taat kepada sang Khalik untuk merawat bumi dan tidak rakus. Pertobatan ekologis menjadi sangat relevan kepada mereka yang gemar mengekploitasi bumi, para pemodal atau pemilik industri maupun sistem pemerintahan dengan segala dosa strukturalnya yang mengkondisikan alam mengeluh dan menderita (bnd. Rom 8:21).
- Hubungan Israel dan Palestina (Hamas)
HKBP sebagai gereja Tuhan hadir menjadi garam di tengah dunia yang penuh dengan konflik, kerusuhan bahkan perang. HKBP sebagai gereja tidak memihak kepada negara Israel ataupun kepada bangsa Palestina, tetapi memihak kepada harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan yang istimewa di hadapan Tuhan. Setiap manusia diciptakan Tuhan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26–27; 2:18; Gal. 3:28). HKBP menolak setiap tindak kekerasan maupun penghilangan nyawa, karena tidakan itu adalah kekejian bagi Allah (RPP HKBP 2023, Bab III,5).
Pengakuan Iman HKBP 1996 dan Tata Penggembalaan dan Siasat Gereja HKBP 2023 menyatakan bahwa Allah datang membawa damai. HKBP menyuarakan perdamaian, sebagai bagian dari anak-anak Allah yang membawa damai (Mat 5:9). Sesama manusia harus saling menghidupkan (Mat 7:12). Sebagai sesama ciptaan, manusia dipanggil untuk menjaga perdamaian dan mengupayakan rekonsiliasi tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau kebangsaan. HKBP menolak penggunaan ayat-ayat suci untuk melegitimasi kekerasan, penindasan dan perang.
HKBP mendukung dan mensyukuri kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan tahanan pada bulan Oktober 2025 antara Israel dan Hamas sebagai langkah awal rekonsiliasi dan pemulihan perdamaian. Seperti yang ditekankan dalam Pernyataan WCC Oktober 2025, perdamaian hakiki tidak dapat terwujud melalui penghentian senjata, tetapi juga menyangkut akses tanah dan infrastruktur, kehidupan yang bermartabat (Mat. 22:39; Kol. 3:14; 1Yoh. 4:20).
HKBP turut mendoakan perdamaian yang sejati, berkelanjutan dan menetap, agar semua bangsa menjauhi tindakan kebencian dan balas dendam, tetapi saling mengasihi dan mengampuni. HKBP juga menyerukan kepada komunitas internasional agar menjadi mediator yang adil, menegakkan hukum internasional, dan menghormati hak asasi manusia untuk semua pihak.
- Sosialisasi Keseragaman Pelayanan
Gereja kita sudah memiliki Buku Panduan Keseragaman Pelayanan HKBP, yang sudah dikompilasi dari keputusan Rapat-rapat Pendeta HKBP. Isinya dituliskan dalam bahasa Batak (13 ponggol jala 60 bindu). Na-13 ponggol i, i ma na marhadomuan tu: Parmingguon, Pandidion na Badia tu dakdanak, Uju masa Pandidion na Badia na hinipu, Pandidion na Magodang, Parguru Manghatindanghon Haporseaon, Pabagashon (Perkawinan), Ulaon na Badia, Mananom na mate, Agenda Singkola Minggu, Na Mardomu tu Musik dohot Ende di HKBP, Partangiangan Lingkungan/Wijk, Na Mardomu tu Baju Tohonan dohot Tangiang Pelean. Mansai uli molo di ganup Rapot Pandita Distrik rap renta hita mansosialisasihonsa huhut manjamothonsa.
- Hal-hal lainnya
Selain beberapa isu teologis di atas, perlu juga diketengahkan pentingnya pembahasan dan pergumulan kita akan beberapa hal, seperti:
- Agenda 2021: Adalah Agenda terbaru yang kita pakai. Dalam Keseragaman Pelayanan yang sudah diputuskan tahun 2023, sudah menjadi ada yang dibaharui di situ, misalnya kata „Amen“, maupun bila mana ada perubahan tentang Doa persembahan (butir: 13 dohot 60).
- Terjemahan Agenda Bahasa Indonesia untuk Sekolah Minggu masih terus dalam pergumulan teologis kita bersama. Paling sedikit untuk dua hal utama, diharapkan masukan, saran dan opsi terjemahan dan rumusan teologis tentang: Doa persembahan dan Pengakuan iman (yang berbeda rumusannya dengan Pengakuan Iman Rasuli).
- Perceraian di Pengadilan. Kasus perceraian (khususnya lewat pengadilan) sudah menjadi sebuah kenyataan yang kita lihat di gereja, baik secara diam-diam dan terang-terangan. Dalam narasi agenda perkawinan, didahului bahwa perceraian tidak dapat dilakukan kecuali karena zinah. Kemudian hal itu diikuti dengan rumusan: apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Kemudian di akhir narasi ditekankan kembali bahwa mereka tidak akan bercerai kecuali kematian yang akan menceraikan mereka kelak. Pergulatan teologis senantiasa dibutuhkan oleh gereja kita HKBP untuk menggumuli kasus perceraian ini, simultan dengan mempertajam penghayatan teologis akan janji perkawinan di satu sisi dan menjaga jemaat mencintai HKBP di sisi lain.
- “Statement of Faith“. Konfessi HKBP atau Pengakuan Iman HKBP sudah tersedia dan kita miliki, yakni Konfessi tahun 1951 dan Konfessi tahun 1996, yang ditulis dalam tiga bahasa (Bahasa Batak, Indonesia dan Inggris). Namun sesuai dengan perkembangan zaman dan pergumulan teologis setelah itu, sikap gereja kita dituliskan melalui lembaran terpisah dari Konfessi tersebut dalam bentuk “Statement of Faith“.
Medan, 12 Oktober 2025
Atas nama Komisi Teologi:
Pdt Banner Siburian, MTh
Ketua Komisi Teologi HKBP 2024-2028
[1] Istilah teonomis berasal dari dua kata Yunani: theos (θεός) yang berarti “Allah”, dan nomos (νόμος) yang berarti “hukum.” Secara literal, teonomi berarti “hukum Allah.” Dalam arti: suatu pendekatan yang menegaskan bahwa hukum moral dan sosial yang seharusnya berlaku dalam masyarakat bersumber langsung dari hukum ilahi sebagaimana diwahyukan dalam Alkitab.
[2] Istilah teologis yang berasal dari kata “kovenan” atau covenant dalam bahasa Inggris, yang berarti perjanjian ilahi antara Allah dan manusia
[3] Dalam studi teologi, filsafat, sastra, atau hukum, istilah ini merujuk pada teks atau kutipan utama yang secara otoritatif dan representatif menjadi dasar untuk suatu doktrin, gagasan, atau argumen.





